Rabu, 28 November 2012

Sepenggal "Menapaki Jejakmu" Novel Islami Pembangun Jatidiri Sejati



SEPENGGAL
MENAPAKI JEJAKMU
Novel Islami Pembangun Jatidiri Sejati
Oleh : 
Adi Rustandi

Ramadhan itulah namanya. Keluarga dan orang-orang terdekat memanggilnya Rama. Banyak yang memandangnya sebagai remaja yang memiliki prinsip hidup yang kuat. Hidupnya sederhana, sopan, santun, punya pekerjaan terhormat, dan bisa dibanggakan. Selain ia menjadi pelajar SMA di salah satu sekolah swasta di Bandung, ia juga tercatat sebagai staf pengajar guru bimbel di tempat bimbingan belajar favorit di Kota Bandung. Bagaimana tidak, ia sebagai seorang pelajar SMA, dengan sifat kemandiriannya, kedewasaannya, dan mau bekerja keras, ia sudah memiliki penghasilan sendiri. Bagi seorang remaja seusianya nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Banyak sekali yang memuji dan bangga atas prestasinya. Namun, hanya ia sendiri yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.

Usia Rama masih sangat muda, baru tujuh belas tahun. Ia baru merasakan jatuh cinta pada seorang wanita keturunan Batak, teman sekolahnya, namun berbeda kelas. Agna Mariana nama lengkapnya. Ana, panggilan akrabnya. Ia gadis remaja supel, mudah bergaul, pintar, tapi tidak berkerudung. Namun, hubungannya hanya bertahan tiga bulan saja. Selain orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan Rama yang berketurunan suku sunda. Rama dan Ana harus kosentrasi pada Ujian Nasional (UN)  yang akan segera dilaksanakan sebulan lagi, dan Ana harus melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Waktu terus berlalu, akhirnya Allah swt. menakdirkan jalan masing-masing. Ana harus melanjutkan beasiswa pendidikannya ke Jepang. Sedangkan Rama, harus kembali bekerja. Karena, tes saringan masuk ujian perguruan tinggi yang ia ikuti, baik dalam maupun luar negeri, gagal semua. Dan kegagalan inilah yang membuatnya menjadi bersedih. Apalagi ketika ia harus mengingat kejadian kelamnya, sewaktu ia akan merayakan syukuran bersama Ibu dan Fitri, adiknya. Hingga tabrakan terjadi, dan Rama harus kehilangan mereka untuk selamanya.

Kesedihan yang Rama rasakan membuat khawatir Bu Muthi Hafidzah. Bu Muthi nama panggilan sekaligus wali kelasnya di sekolah. Dan Bu Muthi pun mencoba mengenalkan dengan Bu Zahira. Panggilannya Bu Ira. Ia adalah sahabat lamanya sewaktu kuliah. Dan katanya akan menjadi orang tua asuh atau kakak angkatnya. Bu Ira seusia dengan Bu Muthi, tiga puluh lima tahun. Baik, pendiam, tak banyak berkata, dan belum menikah. Semangat kerjanya tak pernah mengenal lelah. Kehadiran Bu Ira dalam kehidupan Rama menjadi warna tersendiri.

Selepas lulus sekolah, Bu Muthi yang menjadi motivatornya. Hingga pada akhirnya, satu tahun kemudian, Rama bisa melanjutkan kuliah. Di tengah kesibukan menjadi mahasiswa sekaligus menjadi staf pengajar bimbel, membuatnya putus komunikasi dengan orang-orang tercinta. Hampir selama dua sampai tiga tahun, Rama tidak menjalani komunikasi dengan Bu Muthi dan Bu Ira.

Hingga suatu hari, Rama diperkenalkan dengan dua orang tunanetra teman kampusnya. Julius dan Suwarham. Dari sinilah, Allah swt. membuka jalan kembali antara Bu Muthi dengan Rama untuk bersilaturahmi. Ia kembali dipertemukan saat beristirahat di masjid. Ia menyaksikan Bu Muthi sedang membimbing beberapa anak perempuan tunanetra yang masih kecil jalan-jalan. Dibalik rasa penasarannya, Rama pun mencoba mencari informasi tentang keterlibatannya sebagai reader di Wyataguna.

Namun, apa yang didapatkan? Ternyata Bu Muthi akan menikah dengan seorang kontraktor, Angga Kusuma nama calon suaminya. Kabar inilah yang membuat Rama sedikit kecewa. Tapi, kekecewaannya itu lama kelamaan sirna saat dirinya mengenal malaikat-malaikat kecil (Mia, Heni, dan Tari), dan mereka adalah anak kecil tunanetra yang selalu dekat dengan Bu Muthi. Banyak cerita tentang dirinya dari malaikat kecil itu, sewaktu Bu Muthi sering menjadi reader mereka.

Di Wyataguna, Rama banyak belajar tentang arti kehidupan. Banyak waktu yang ia habiskan bersama di asrama. Meski hanya untuk membacakan cerita anak, membacakan latihan soal untuk ulangan, dan bahkan menjadi teman curhat pun ia lakukan. Di sana, Rama bisa belajar huruf braile, belajar membaca alquran braile, dan yang utama belajar mengenal Allah swt. dari kelebihan mereka. Ada kepuasan batin yang tidak ia dapatkan di tempat lain.

Dari hari ke hari, Rama terlihat semakin matang dan dewasa. Santun dalam berkata, dan bijak dalam bersikap. Dan tak heran, Rama pun menjadi buah bibir. Bahkan sesekali, reader senior putra atau putri sering menjadi perantara “penitipan salam” untuknya. Namun, itu semua tak menjadikannya besar kepala.

Sekarang, Rama berusia dua puluh satu tahun. Ia tumbuh menjadi pribadi dewasa, yang memiliki jiwa sosial tinggi. Dari kepribadiannya yang baik, banyak teman perempuan di kampusnya, jatuh cinta kepadanya. Bahkan, teman perempuan reader pun ada yang berani menyampaikan perasaanya, meski hanya lewat sms. Namun, Rama tetap istiqomah pada pendiriannya. Ia ingin menikah dengan wanita yang shalehah, baik agamanya, baik imannya, dan bisa menjadi teladan untuk anak-anaknya kelak.

Beberapa bulan kemudian, terdengar kabar kalau Bu Muthi tidak jadi menikah. Bahkan yang membuat Rama dan malaikat kecilnya bersedih adalah Bu Muthi sakit parah setelah pernikahannya batal digelar. Sampai akhirnya, Rama membawa Mia, Heni, dan Tari ke rumahnya. Dan benar saja, merekalah obat yang paling mujarab. Ia kembali tersenyum. Dari sinilah hubungan Rama dengan Bu Muthi terjalin sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.

Hari demi hari, kersamaannya dengan Bu Muthi menimbulkan perasaan yang mendalam di hati Rama. Ya, Rama jatuh cinta pada sosok wanita yang usianya jauh lebih tua dengannya, lebih kurang 15 tahun.  Banyak hari-harinya yang ia lewatkan untuk beristikharah kepada Allah swt. tentang perasaannya yang tak wajar itu.

Dibalik kekhusyuannya beristikharah, Allah swt. menguji Rama dengan menghadirkan Bu Ira. Bu Ira teman Bu Muthi itu, juga sama menyimpan perasaan kepada Rama. Bu Ira sangat tertarik dengan sifat dan kepribadian Rama. Muda, cerdas, dan tanggung jawab. Hingga pada suatu hari, Allah swt. mengirimkan sinyal jawaban istikharah kepadanya. Dan ia pun berencana untuk mengumpulkan keduanya, Bu Muthi dan Bu Ira dalam satu waktu.

Setelah waktu yang disepakati tiba, ternyata Bu Ira tidak bisa hadir tepat waktu, karena ia terjebak hujan dan macet. Maka, Rama pun dengan perasaan takut dan gugup berusaha mengungkapkan perasaannya itu kepada Bu Muthi. Ternyata, saat Rama mengungkapkan isi hatinya kepada Bu Muthi, Bu Ira sudah berdiri di depan pintu dan mendengar semuanya. Hingga ia harus kecewa dan bahkan hampir kehilangan nyawanya, karena tertabrak oleh mobil truk yang melintas saat hujan sangat deras.

Rama merasa bersalah, begitu pun dengan Bu Muthi. Meski pun belum memberikan jawaban pasti kepada Rama, Bu Muthi merasa bahwa ini akan merusak hubungan persahabatannya yang sudah dibangun sejak lama.

Lagi-lagi Allah swt. menunjukkan kuasanya, disaat  Bu Ira koma, datanglah Mas Imam, teman kerjanya Bu Ira. Ia datang dengan membawa cinta. Dalam dia ia selalu menyimpannya untuk menunggu waktu yang tepat. Dengan izin Allah swt. Rama menjadi fasilitatornya, dan ia pun mengungkapkan semua perasaannya kepada Bu Ira. Sampai akhirnya, Bu Ira menerima Mas Imam untuk menjadi calon suaminya.

Sedangkan Rama masih saja digantungkan statusnya oleh Bu Muthi. Rama tahu, rasa trauma membuat Bu Muthi semakin selektif. Terlepas semua itu, Bu Muthi masih sangat merasa canggung dengan hubungannya. Belum lagi ia harus menyakinkan keuarga dan teman dekatnya, termasuk teman mengajar dan teman Rama. Namun, waktu mengubahnya. Kesungguhan Rama untuk menjadikan Bu Muthi sebagai pasangan hidupnya, berbuah manis. Meski pada awalnya, kehadiran Rama masih sangat diragukan dan dipandang sebelah mata di keluarga Bu Muthi. Namun, Allah swt. kembali menunjukkan kuasa-Nya. Rama diterima oleh Pak Sigit dan Bu Rahma (kedua orang tua Bu Muthi dan keluarga).

Namun, ketika rasa bahagia itu baru saja dirasakan, kembali Allah swt. menguji kesungguhan Rama dan Bu Muthi. Tiba-tiba, Angga, calon Bu Muthi, yang dulu pernah melamar. Namun, menjelang pernikahan dengan sepihak memutuskan untuk menunda pernikahan, dengan alasan ia dipecat dari kantornya) datang saat Rama baru saja di terima menjadi bagian dari keluarga Bu Muthi.

Angga datang dengan niat ingin kembali merajut kasih yang sempat tertunda. Namun, dengan mentah-mentah, Bu Muthi menolaknya. Angga sadar, kalau saat itu sudah ada Ramadhan yang akan menggantikan posisi sebagai calon suami Bu Muthi. Angga tidak terima dengan semua itu. Sampai akhirnya, ia mencoba melukai Rama. Tangannya mencekik sambil memukul dan menendang. Bahkan lebih dari itu, Rama akan ditabraknya saat ia akan pergi ke kampus. Namun, atas izin Allah swt. Rama selamat dari kecelakaan tersebut. Meski tubuhnya terbentur dam masuk got. Namun, Angga harus membayar mahal semua itu dengan nyawanya.

Kejadian demi kejadian membuat Rama dan Bu Muthi semakin dewasa. Rama dan Bu Muthi akhirnya menikah dengan segudang pertanyaan dan pernyataan dari sahabat terdekat yang menguatkan keimanan dan keislaman.

“Tidak bolehkah aku mengikuti sunnah Rasulullah saw. dengan menikahi seorang wanita yang kucintai dan kusayangi, yang usianya lebih sedikit dengan usiaku? Bukankah Rasulullah saw. pun begitu? Aku mencintainya bukan karena kekayaan. Aku menyayanginya bukan karena kecantikan. Tapi, aku mencintai dan menyayanginya karena aku tahu akan agamanya. Dia kaya akan hatinya. Dia cantik karena hatinya. Maka, izinkanlah aku menikahinya karena Allah swt. Aku menyayanginya dari hati, bukan emosi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar